Sabtu, 10 Agustus 2013

SPIRITUALITAS KEGAGALAN








Dicatat oleh Ribadeneira ( Penulis Kisah hidup Ignatius) . Ignasius bertanya kepada Lainez ( anggota SJ perdana). Seandainya Allah menawarkan suatu pilihan: sekarang ini juga wafat dan masuk surga, walau kehilangan kesempatan untuk berkarya bagi sesama, atau diberi kesempatan bekerja bagi kemuliaan Allah dan keselamatan jiwa-jiwa, dengan resiko gagal, dan karenanya lalu belum tentu selamat. Manakah yang akan dipilih. Segera saja Lainez memilih yang pertama, jaminan kepastian akan keselamatan. Ignasius berbeda. Dia memilih yang kedua: berkarya bagi kemuliaan Allah dan keselamatan jiwa-jiwa, dengan resiko gagal, dan karenanya bisa tidak mendapatkan keselamatan. Spiritualitas Ignasian karenanya adalah sebuah bentuk kerohanian yang membawa kita masuk ke dunia resiko, bukan sebuah spiritualitas yang sekedar hanya mau mencari ‘jalan aman’, sekedar hanya mau mengejar keselamatan personal belaka.
Hal itulah yang dikatakan Paus Fransiskus sebagai, lebih baik sakit karena keluar, daripada sakit karena diam dan aman di dalam. Keluar dan menjumpai orang, itulah dorongan apostolis ignasian. Memang tidak ada jaminan keberhasilan. Namun itulah ‘spiritualitas kegagalan demi kerajaan Allah’. Spiritualitas kegagalan tersebut berbicara bukan dalam kategori sukses, apalagi dalam perhitungan finansial. Spiritualitas tersebut lebih berbicara tentang kesetiaan, sebagaimana dikatakan Ibu Teresa, Tuhan memanggil bukan untuk sukses, melainkan untuk setia.


Magis, dengan demikian, lebih ditempatkan bukan dalam kategori ‘lebih’ dalam usaha dan hasil, namun ‘lebih’ dalam semakin menapaki jalan panggilan rasuli Kristus, ‘lebih’ dalam semakin menyerupai Yesus, sebagaimana nyata dalam Latihan Rohani. Maka ‘magis’ adalah ‘lebih’ dalam semakin mencapai tujuan ( ad finem) kita diciptakan. Latihan Rohani lalu memberi kata kunci: kerendahan hati. Kerendahan hati itulah yang menggerakkan kita bukan mencari ‘cinta, kepentingan dan kehendak diri’, melainkan berani melakukan suatu ‘pilihan’ yang berarti ‘ikut bersusah-payah dan bekerja keras bersama Kristus yang bersusah payah dan bekerja keras’, sehingga sampai pada jalan kesatuan (via unitiva) bersama Kristus memanggul salib. Hanya dalam kesediaan apostolis itulah kontemplasi mendapatkan cinta mendapatkan makna dan dasarnya. Kerendahan hati, karenanya, memiliki arti sebagai penyangkalan diri, keluar dari diri sendiri, pun dari narsisme spiritual kita.


Hati-hati dengan sukses, hati-hati dengan jaminan kepastian, pun itu jaminan kepastian keselamatan. Spiritualitas jangan menjadi ideologi, demikian antara lain pesan Paus kepada jendral. Ignasius cermat memperlakukan orang-orang dekat dan yang dipercayainya. Lainez, Nadal dan Polanco diberi banyak teguran dan askesis. Borgia, pangeran Gandia, ketika datang ke Roma disuruh bekerja di dapur, dan tidak boleh ikut makan bersama di refter komunitas. Semakin seseorang punya bakat-kemampuan, harus semakin ditempa dan diuji. Terbentur-bentur terbentuk. Mungkin berbeda dengan kecenderungan kita. Anak emas, mereka yang ‘digadhang-gadhang’, diberi fasilitas dan kemudahan, sehingga menemukan ‘jalan mulus’, tak ada askesis atau teguran sedikit saja. Namun, yang tidak disenangi mendapatkan perlakuan berbeda. Kriteria sukses: nilai baik, penurut, tidak merepotkan, tidak aneh-aneh dsb. Itulah jaminan dan kepastian.


Ignasius memilih tetap tinggal di dunia. Baginya, inilah kesempatan untuk bisa lebih bekerja bagi Allah dan sesama. Bukan keselamatan diri dan jaminan sukses yang dicari, namun peluang untuk lebih mengabdi. Memang ada resiko gagal, ada kemungkinan malahan kehilangan jaminan keselamatan. Namun bila peluang itu malahan bisa semakin menyelamatkan banyak orang, semakin membawa kemuliaan Allah yang lebih besar, itu harus diambil. Membawa semakin banyak orang kepada Allah, bukan hanya diri sendiri: itulah ikut serta dalam jalan keselamatan Allah. Itulah jalan resiko, masuk ke ujung batas, di mana ketidakpastian dan keterjaminan pun kejelasan program, struktur dan sarana kurang ada.


Paus Fransiskus, yang mengaku diri dengan jujur, tetap seorang Yesuit dan menempatkan Ignasius sebagai ‘bapa’ baginya, memberi contoh kepada kita: masuk dalam ruang frontier, ruang di ujung batas, keluar dan menyapa orang, masuk ke ruang realitas yang keras dan tak jarang kejam. Itulah warisan rohani Ignasius. Bukan sekedar mencari rasa aman dan jaminan keselamatan pribadi, itulah kerohanian Ignasian. Bila demikian, spiritualitas Ignasian hendak membongkar rasa aman dan nyaman dalam diri kita, institusi dan cara hidup kita. Spiritualitas ignasian membawa kita bergerak, terus mencari, sehingga disebut kita adalah para peziarah, bukan tipikal orang yang ‘mendeg’, yang tidak bertanya dan tidak gelisah; bukan tipikal orang yang suka duduk manis, puas dengan biasa-biasa saja atau dengan yang biasanya belaka. Spiritualitas Ignasian mendorong kita untuk berani lelah dan ‘sakit’, berjuang dan ‘gagal’. Spiritualitas Ignasian adalah cara kerohanian yang mengajak kita untuk ikut dalam gerak inkarnasi: menemukan Allah yang memandang dunia nyata ini, dan kemudian mengutus Putra-Nya untuk menyelamatkan dunia.


Bersama Putra yang berlelah-payah menyelamatkan dunia, karena besarnya kasih-Nya kepada kita, semoga kita semakin berani dan tersedia untuk ikut berjuang bersama-Nya di bawah panji-Nya, untuk juga menyatakan kasih dan kemurahan hati Allah, agar kemuliaan-Nya yang semakin besar, semakin nyata dan semakin berbuah, sehingga semakin banyak melihat perbuatan baik kita dan memuliakan Bapa yang di Surga. AMDG
Sohib, elamat pesta Ignasius. Semoga kita semakin layak dan siap menjadi putra-putra Ignasius. Tabik.- krispurwono sj

Tidak ada komentar:

Posting Komentar