Sabtu, 10 Agustus 2013

MENJADI MURID SEORANG PENGUMPUL KARDUS BEKAS


Kamis sore, tepatnya pukul 17.30, aku berdiri di depan rumah. Seorang bapak lanjut usia dengan sibuk sendirian di pinggir jalan, dekat pemberhentian bus depan gereja St. Yosep; tengah sibuk menata kardus-kardus bekas nan kumuh. Nampak sekali ketenangan walau hanya menata kardus. Sejurus waktu tak lama kemudian, sepasang pasutri sederhana berhenti menyapanya dan memberikan nasi bungsu untuk mengganjal perut dan sekaligus untuk berbuka setelah azan magrib datang. Ucapana syukur 'alhamdullilah' terucap dari sang kakek. Kebisingan kendaraan tak membuatnya gelisah dan emosi. Dengan tenang menata dan menata. Kardus untuk menampung kardus-kardus lain itu pun sobek dan harus ia ikat dengan tali rafia. Sesudahnya, kakek ini kesulitan menata kardus. Tangan satu memegangi sepeda dan kardus, sedangkan tangan lainnya memasukkan kardus lipatan ke dalamnya. Jatuh dan jatuh.


Aku menyapanya dan langsung membantunya menata berdua kardus-kardus itu. Percakapan hangatpun terjadi dipinggir lalu lintas nan ramai itu, diselingi derai bis - bis trans musi yang hampir saja menabrak pantatku. Bapa itupun berkisah bahwa dirinya adalah guru bahasa Inggris di suatu lembaga pendidikan di Palembang; Ia pun dulunya adalah angkatan laut yang kerap melalang buana ke luar negeri untuk tugas dan mengambil kapal. Ia berkisah pernah ke Rusia, Inggris, Perancis dan banyak negara lainnya. Ku tanya, darimana bapak bisa berbahasa Inggris? sahutnya, ya belajar sendiri, dng keluar negeri itu saya jadinya bisa berbahasa Inggris. "How do you do? can you spreak English? " ku jawab sekenanya, Fine thanks. I can speak english a little bit...

Sang kakek berkisah seputar penghasilan dari menjual kardus itu setelah aku tanya. Ia kerap mendapatkannya dari toko-toko klontong. "syukur lah, paling tidak sampai sore hari bisa Rp. 15.000 lah" Syukur .....Dia pun menanyakan beberapa hal tentang diriku, kujawab aku masih baru di Palembang. Beliau menasehati bahwa belajarlah bahasa Inggris yang langsing bisa digunakan, bukan setahun dua tahun e masih belum bisa apa-apa..." Setelah ikatan kardus itu selesai diikat di sepeda yang reot itu, beliaupun menyampaikan ucapan terima kasih atas kemurahan hati membantunya dan menyampaikan salam perpisahan "So long...thanks for your kindness ... by.."

Penampilannya renta, bajunya kumuh bau kotor sekali, beberapa hari tak dicuci pastinya, usia 78 tahun, sepedanya reot jalannya pun miring. Selintas mungkin aku mengira memandangnya orang miskin yang sepeti lainnya. Namun perjumpaan ini membuatku berbunga dalam kemurahan hati. Perjumpaan itu memberikan makna bahwa setiap pribadi perlu dijumpai secara personal, buka karena dinilai dari penampilannya, kebiasaannya.

Orang miskin itupun mengajariku bagaimana bersikap atas hidup, yakni dengan penuh syukur dan penuh keterbukaan bukan dengan keluhan demi keluhan. Semua patut dijalani. Berkah Dalem.

P@trik
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar